MENGATASI PROBLEM KEMISKINAN KOTA DI TENGAH PANDEMI

 


Jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 27,55 juta orang pada September 2020, bertambah 2,76 juta orang dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Perkotaan menjadi penyumbang kenaikan terbesar yaitu 1,32% menjadi 7,88%. Sementara di perdesaan hanya naik 0,60% menjadi 13,20%. “Covid-19 ini lebih berdampak ke perkotaan, di sana bisa terlihat penduduk miskin perkotaan karena pandemi naik 1,32% sementara perdesaan alami kenaikan tapi hanya separuhnya yakni 0,60%," ujar Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/2/2021).

Meski demikian, ia mengatakan untuk keseluruhan tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan."Kalau dilihat komposisi penduduk miskin desa dan kota, di pedesaan masih jauh lebih tinggi dari kota dan itu perlu dapat perhatian," tegasnya.

Anjloknya pertumbuhan ekonomi serta penerapan restriksi sosial dan mobilitas di berbagai wilayah sebagai akibat pandemi Covid-19, tidak hanya berpotensi mengakibatkan hilangnya lapangan kerja dalam jumlah besar, tetapi juga meningkatkan kemiskinan secara masif. Lembaga penelitian CORE Indonesia (Center of Reform on Economics) mengatakan dalam siaran pers Selasa (5/5/2020), masyarakat golongan rentan dan hampir miskin ini umumnya bekerja di sektor informal dan banyak yang sangat bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan, persebaran Covid-19 yang saat ini terpusat di wilayah perkotaan menyebabkan potensi peningkatan kemiskinan lebih besar terjadi di perkotaan. Hal yang perlu diwaspadai selanjutnya yakni potensi penyebaran wabah dari wilayah perkotaan ke pedesaan tidak dapat dicegah, di antaranya melalui pembatasan mobilitas orang dari kota ke desa, lonjakan jumlah kasus Covid-19 di wilayah pedesaan tak dapat dihindari. “Dampaknya, potensi pertambahan jumlah penduduk miskin di pedesaan akan lebih besar dibanding prediksi di atas. Artinya, beban pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan, baik melalui subsidi, bantuan sosial dan lainnya, menjadi semakin besar,” kata Faisal.

CORE merumuskan lima rekomendasi penanggulangan kemiskinan akibat pandemi Covid-19 yakni dengan menekankan pentingnya meletakkan prioritas kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini pada menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat terutama yang berada di sekitar garis kemiskinan. Adapun lima langkah untuk menganggulangi kemiskinan yang bisa dilakukan meliputi :

1. Update Data Penduduk Target penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang dianggarkan pemerintah selama pandemi adalah 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp 37,4 triliun atau Rp 3,7 juta per tahun. Sementara, Kartu Sembako ditargetkan sebanyak 20 juta keluarga dengan anggaran Rp 43,6 triliun, yang terdiri dari Rp 200.000 per bulan selama sembilan bulan, termasuk Rp 600.000 untuk 1,776 juta keluarga di Jabodetabek selama tiga bulan. Selain itu, ada transfer cash dari Program Kartu Prakerja untuk 5,6 juta peserta senilai Rp 600.000 selama empat bulan. “Di samping terus memperbaharui data penduduk miskin dan rentan miskin yang layak mendapatkan bantuan sosial, pemerintah perlu meningkatkan anggaran Bantuan Sosial dan memperluas jumlah penerima bantuan kepada penduduk yang jatuh miskin akibat Covid-19,” kata Faisal.

2. Integrasi Penyaluran Bansos Di banyak tempat, berbagai bentuk Bantuan Sosial yang berbeda-beda jenis dan jumlahnya telah menimbulkan ketegangan sosial di sejumlah daerah. Hal ini diperparah dengan basis data Bantuan Sosial, khususnya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang digunakan oleh pemerintah daerah yang belum mencakup masyarakat yang sebelumnya tidak terdata namun kondisi ekonominya memburuk selama pandemi. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah adalah menggandeng bank-bank pemerintah untuk melakukan transfer Bantuan Sosial secara langsung melalui rekening khusus untuk setiap penerima bantuan. “Selain penyalurannya lebih efisien, penerima bantuan tidak tumpang tindih. Di samping itu, potensi berkurangnya jumlah bantuan dapat dihindari,” ungkap dia.

3. Subsidi Administered Prices Mengurangi beban pengeluaran masyarakat khususnya masyarakat miskin dan hampir miskin, terutama dengan menurunkan biaya-biaya yang dikontrol pemerintah (administered prices). Di antaranya:

a. Menurunkan harga BBM yang menjadi salah satu komponen terbesar pengeluaran penduduk miskin (5 persen untuk penduduk miskin di kota dan 4 persen untuk penduduk miskin di desa). Meskipun penurunan mobilitas orang saat ini berdampak pada berkurangnya penggunaan BBM, BBM tetap berperan besar dalam mobilitas barang (logistik) yang tetap sangat krusial perannya selama masa wabah. Apalagi, harga minyak mentah terus mengalami penurunan hingga di bawah 25 dollar per barel. Semestinya harga dasar BBM di bawah RON 95 dapat turun setidaknya pada kisaran Rp 4.500 sampai Rp Rp5.000 per liter. “Harga tersebut berpotensi lebih rendah jika Kementerian ESDM menurunkan biaya konstanta (alpha pengadaan, penyimpanan, dan distribusi) dan margin perusahaan penyalur BBM,” kata dia.

b. Menambah jumlah rumah tangga penerima diskon pemotongan tarif listrik sehingga mencakup minimal seluruh pelanggan 900 VA. Saat ini, selain golongan R1/450VA (24 juta pelanggan) yang mendapatkan listrik gratis selama tiga bulan, golongan rumah tangga R1/900VA yang mendapat pemotongan 50 persen hanya sebanyak 7,2 juta pelanggan dari total 22,1 juta.

c. Menurunkan harga LPG tiga kilogram yang kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat menengah bawah. Ini juga sejalan dengan harga propane dan butane yang menjadi bahan baku utama LPG yang turun tajam. Harga propane Aramco, yang menjadi acuan perhitungan harga subsidi LPG, turun dari 430 dollar AS per ton pada bulan Maret menjadi 230 dollar AS per ton pada April 2020. Sementara itu, harga butane turun dari 480 dollar AS per ton menjadi 240 dollar AS per ton pada periode yang sama. Oleh sebab itu, seiring dengan potensi penurunan realisasi anggaran subsidi LPG tiga kilogram (Rp 50,6 triliun) tahun ini, pemerintah memiliki cukup ruang untuk menurunkan harga bahan bakar itu di kisaran Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per kg. “Penurunan tersebut akan memberikan efek yang cukup besar untuk mengurangi biaya hidup masyarakat, khususnya yang terdampak Covid-19,” ungkap Faisal.

d. Memberikan diskon atau menggratiskan tarif air untuk rumah tangga khususnya di daerah-daerah yang menerapkan PSBB. Banyak negara-negara berkembang telah mengadopsi kebijakan ini, seperti Malaysia dan Thailand. Oleh karena pengelolaan air bersih berada dalam kendali Pemerintah Daerah, maka Faisal mengimbau sudah saatnya mereka ikut serta menanggung sebagian beban masyarakat dengan memberikan diskon atau menggratiskan tarif air bersih di daerah mereka.

4. Insentif Dibudang Pertanian, Peternakan dan Perikanan Meningkatkan insentif bagi petani, peternak, dan nelayan melalui skema pembelian produk oleh pemerintah dan perbaikan jalur logistik hasil pertanian, peternakan, dan perikanan perlu dilakukan mengingat sektor tersebut terus berproduksi dan menghadapi minimnya serapan pasar. Jika insentif di sektor ini tidak segera dan secara khusus diberikan, maka mereka berpotensi menambah jumlah penduduk kemiskinan. Sektor pertanian saat ini masih menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak hingga 34,58 juta orang atau 27,3 persen tenaga kerja nasional per Agustus 2019. “Kebijakan tersebut juga akan membantu pemerintah mengamankan ketersediaan stok pangan nasional khususnya selama berlangsungnya masa pandemi,” ujar dia.

5. Pengelolaan APBN Secara Cermat Meningkatnya intervensi pemerintah untuk mengatasi pandemi tentunya berdampak pada peningkatan anggaran belanja pemerintah. Meskipun terdapat ruang untuk memperlebar defisit, pemerintah dapat mengoptimalkan realokasi anggaran yang telah disusun dan menerapkan beberapa kebijakan alternatif, meliputi:

a. Melakukan realokasi sebagian anggaran belanja modal dan belanja barang APBN, dan melakukan pembagian beban (burden sharing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengalihkan sebagian anggaran Transfer Ke Daerah dan Dana Desa, untuk dialokasikan menjadi anggaran Bantuan Sosial. Pemerintah juga perlu melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri kepada kreditur asing baik lembaga ataupun negara.

b. Melakukan realokasi anggaran penanganan Covid-19 senilai Rp 150 triliun (dari total pembiayaan Rp 405 triliun) yang semula diperuntukkan untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang belum dijelaskan rinciannya, untuk kegiatan anggaran social safety-net dan peningkatan anggaran penanggulangan Covid-19.

c. Melakukan realokasi anggaran program Kartu Prakerja yang digunakan untuk membayar program pelatihan senilai Rp 5,63 triliun, yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya angkatan kerja yang menganggur akibat PHK. Lagi pula, kebanyakan materi yang ditawarkan dapat diperoleh secara gratis di internet. “Dengan demikian, dana tersebut dapat dialokasikan untuk memberikan bantuan sosial yang lebih dibutuhkan penduduk miskin dah hampir miskin, khususnya dalam bentuk penyediaan kebutuhan pokok,” ucapnya. (red)

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama